Meski demikian, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil berjanji akan membantu pelaku usaha perkebunan kelapa sawit untuk mendapatkan kepastian hukum terkait legalitas lahan.
"Jadi saya harap sepulang dari konferensi ini, Anda bisa tersenyum karena persoalan lahan dan tata ruang sudah terselesaikan," kata Sofyan saat memberikan sambutan sebelum membuka Konferensi Sawit Indonesia (Indonesian Palm Oil Conference) di Bali, baru-baru ini.
Menurut Sofyan, salah satu kebijakan yang akan dikeluarkan adalah percepatan pengurusan HGU menjadi hanya 90 hari. "Kami juga meminta perkebunan sawit untuk melengkapi legalitas lahannya. Jangan karena nggak butuh dana ke perbankan, tidak mau urus HGU," pintanya.
Sofyan mengatakan, percepatan proses HGU akan mendorong petani kecil untuk menjangkau sektor perbankan, sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Sehingga harga sawit yang dihasilkan petani semakin kompetitif dan dalam jangka panjang perkebunan rakyat semakin berkelanjutan.
Sedangkan untuk lahan perkebunan yang berada di hutan, kata Sofyan masih akan dikaji. "Kita sedang pikirkan kebijakan yang paling tepat. Nanti kita akan punya satu peta besar, komposisi lahan yang ada," kata Sofyan.
Untuk itu, pemerintah berencana melakukan sertifikasi lahan untuk petani kecil khususnya pada sektor kelapa sawit, dengan melakukan proyek percontohan untuk 1.000 bidang tanah dalam upaya untuk penataan ruang lahan untuk perkebunan sawit.
"Sertifikasi lahan petani kecil, lahan plasma dan masyarakat sekeliling kebun pada tahun ini kami lakukan proyek percontohan 1.000 bidang lahan untuk 25.000 hektar," kata Sofyan.
Proyek percontohan tersebut, akan dilakukan dengan melibatkan kurang lebih sebanyak 2.000 hingga 3.000 orang juru ukur. Secara keseluruhan, pemerintah akan mengeluarkan 5 juta sertifikat pada 2017 termasuk juga sertifikat untuk lahan sawit milik petani kecil.
Target besar pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang tersebut adalah, pada 2017 mengeluarkan 5 juta sertifikat dan tahun berikutnya meningkat menjadi 7 juta sertifikat. Sementara pada 2019, akan dikeluarkan sebanyak 9 juta sertifikat.
"Kita memiliki target ambisius, bahwa pada tahun 2025, tanah di Indonesia seluruhnya bersertifikat. Jika belum, pasti sudah terdaftar," tambahnya.
Sofyan menjelaskan, selain rencana untuk sertifikasi lahan itu, pihaknya juga akan mulai melakukan penataan tata ruang berupa peta kawasan hutan, percepatan pengeluaran sertifikat HGU. Khusus untuk HGU, pemerintah menjamin proses penyelesaian maksimal selama 90 hari.
Sertifikasi lahan bagi petani kecil sangat diperlukan khususnya untuk mendapatkan pembiayaan dan juga masuk dalam program peremajaan tanaman. Saat ini, mayoritas para petani kecil tersebut belum mendapatkan sertifikat sehingga kesulitan untuk mendapatkan akses permodalan.
Salah satu masalah yang timbul akibat dari petani kecil yang tidak memiliki sertifikat lahan tersebut adalah, mereka tidak bisa mengikuti program peremajaan sawit untuk peningkatan produktivitas dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS).
Tercatat, pada periode Januari-Agustus 2016, BPDP-KS telah mengumpulkan dana mencapai Rp7,19 triliun dari hasil pungutan ekspor produk sawit. Sementara pada Juli-Desember 2015, dana yang terkumpul sebesar Rp6,9 triliun, sehingga total dana yang terkumpul mencapai Rp14,1 triliun sejak badan tersebut dibentuk Juli 2015.
BPDP-KS telah menyalurkan sebanyak 71% dari total dana yang didapatkan tersebut untuk subsidi program biodiesel. Hingga Juni 2016, total subsidi untuk biodiesel mencapai Rp6,52 triliun, sehingga mayoritas dana yang dikeluarkan oleh BPDP-KS adalah untuk subsidi biodiesel dan bukan untuk peremajaan tanaman.
Sementara periode Juli-Desember 2015, dari total jumlah dana yang berhasil dihimpun senilai Rp6,9 triliun tersebut sebagian besar dipergunakan untuk membayar subsidi selisih biodiesel. Tercatat, pembayaran subsidi biodiesel itu mencapai Rp467,21 miliar, riset sebesar Rp10,25 miliar dan untuk peremajaan baru sebesar Rp623,5 juta.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mengatakan, selain masalah kepastian legalitas lahan, tantangan yang dihadapi pelaku usaha perkebunan sawit semakin kompleks.
Padahal permintaan terhadap minyak sawit, terutama untuk kebutuhan pangan dan energi, akan semakin meningkat. Tantangan lain yang juga harus diperbaiki oleh pelaku usaha sektor perkebunan sawit adalah upaya peningkatan produktivitas.
Menurut Joko, kebutuhan akan minyak sawit masih sangat tinggi, dengan prediksi kebutuhan minyak nabati dunia mencapai 50 juta ton pada 2025. Saat ini produksi minyak sawit Indonesia sebesar 31 juta ton, dan 22,5 juta ton di antaranya diekspor.
"Selain itu, kebutuhan minyak sawit untuk biodiesel juga terus meningkat. Indonesia memiliki posisi lebih baik dan sangat penting sebagai produsen minyak sawit terbesar untuk mengambil porsi terbesar sebagai pemasok kebutuhan minyak nabati dunia ke depan,” kata Joko.
Peningkatan produktivitas dan efisien, lanjut Joko, merupakan kunci terpenting guna memperbesar kontribusi kelapa sawit Indonesia sebagai pemasok terbesar minyak nabati dunia. Hal ini merupakan tantangan bagi pelaku usaha perkebunan kelapa sawit sehubungan dengan rencana pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium perizinan baru untuk perluasan perkebunan di lahan gambut dan pelepasan kawasan hutan.
“Karena itu diharapkan pemerintah mengeluarkan kebijakan strategis demi meningkatkan produktivitas, daya saing dan tantangan global secara sistematis,” ujarnya.
Hal yang penting adalah mendorong peningkatan implementasi ISPO dengan mempercepat proses sertifikasi yang kredibel dengan persyaratan standar yang bisa diakui internasional. “Gapki sangat mendukung pemerintah yang saat ini berinisiatif untuk memerkuat ISPO terutama untuk membawa ISPO menjadi lebih kredibel dan mendapat pengakuan internasional,” katanya.
Joko juga berharap pemerintah membantu meningkatkan daya saing minyak sawit di pasar global dengan memperkuat politik perdagangan melalui hubungan bilateral G to G sehingga dapat meminimalkan batasan-batasan yang menghambat ekspor minyak sawit dan turunannya. “Dan yang tidak kalah pentingnya adalah pemerintah diharapkan terus membangun infrastruktur untuk mendorong perkembangan industri hilir dan produk turunan minyak sawit.”
Sawit Tulang Punggung Ekonomi
Peran sawit sebagai tulang punggung perekonomian bangsa disampaikan Menko Perekonomian Darmin Nasution. Menurutnya, pemerintah akan menjadikan industri kelapa sawit sebagai salah satu motor pertumbuhan ekonomi. Namun tata kelolanya harus lebih berkelanjutan.
"Sangat penting menerapkan nilai-nilai ekonomi hijau dalam pembangunan sektor perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan," kata Darmin dalam sambutan tertulis yang dibacakan oleh Sekretaris Menteri Koordinator (Sesmenko) Perekonomian, Lukita D. Tuwo dalam IPOC and 2017 Price Outlook di Nusa Dua, Bali tersebut.
Darmin menjelaskan, sektor perkebunan sawit telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional, dengan sumbangan ekspor yang mencapai hampir US$20 miliar pada 2015. Tidak saja berkontibusi terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menyejahterakan 16 juta petani dan pelaku usaha lain dalam mata rantai industri kelapa sawit nasional.
"Kita bersyukur Indonesia memiliki komoditas sawit karena ini adalah produk yang merupakan keunggulan kompetitif nasional. Tanpa produk yang memiliki daya saing, sulit suatu negara bisa sejahtera," katanya.
Darmin mengatakan, Kemenko Perekonomian telah mengeluarkan paket kebijakan untuk meningkatkan daya saing, menjaga nilai tukar rupiah, dan pertumbuhan ekonomi. Semua target pencapaian makro ekonomi itu, ujarnya, bisa dicapai dengan sektor kelapa sawit.
Menjawab tuntutan global, Darmin berharap pelaku usaha juga memperhatikan aspek-aspek keberlanjutan seperti dalam pemanfaatan lahan gambut. Sehingga bisa dihindari terjadinya kerugian ekonomi misalnya akibat kebakaran lahan yang tidak terkendali.
Sementara itu, Dirjen Perundingan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Iman Pambagyo menambahkan, kampanye negatif sawit dari negara-negara Barat harus dijawab dengan diplomasi, perkuatan riset, serta penerapan tata kelola perkebunan yang ramah lingkungan.
"Pemerintah sadar bahwa sektor perkebunan kelapa sawit adalah keunggulan kompetitif Indonesia. Tetapi kita juga harus bisa menyesuaikan dengan tuntutan global terkait isu keberlanjutan," paparnya. *** SH