Uni Eropa seperti tak bosan-bosannya menyudutkan produk sawit yang masuk ke kawasan benua Biru itu. Setelah mengangkat hasil penelitian dari Badan Pengawas Keamanan Eropa, EFSA (European Food Safety Authority) bahwa selai nutella yang mengandung sawit berpotensi memicu kanker, kemudian anggota Parlemen Eropa, yang duduk di Komite Lingkungan, Kesehatan Masyarakat dan Keamanan Pangan melakukan voting terhadap nasib sawit asal Indonesia, pada 9 Maret 2017.
Dari 57 suara anggota parlemen yang menyampaikan aspirasinya, sebanyak 56 suara sepakat bila sawit merupakan penyebab deforestasi, degradasi habitat, masalah hak asasi manusia, standar sosial yang tidak patut dan masalah tenaga kerja anak. Hanya 1 suara anggota yang tidak setuju dengan pernyataan tersebut.
Memang hasil voting tersebut belum final dan mengikat, mengingat masih harus dibawa ke sidang pleno Parlemen Eropa pada 3-6 April nanti. Namun, implikasi dari laporan itu bisa berakibat fatal, yakni penghentian penggunaan minyak sawit dari program biodiesel Eropa di 2020 nanti bila tidak menerapkan sertifikasi minyak sawit yang sustainable.
Menanggapi hal tersebut, Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag), Iman Pambagyo menyatakan kekecewaannya. Pasalnya, voting yang dilakukan Komite Lingkungan di Parlemen Eropa dinilai kian memperburuk citra minyak kelapa sawit di mata dunia.
Citra negatif terhadap sawit semakin kuat, khususnya di kalangan masyarakat Eropa. Padahal Indonesia tengah membahas soal komoditas sawit dengan Uni Eropa dalam Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA).
"Menteri Perdagangan menyampaikan perhatian bahwa informasi tersebut menciptakan persepsi minyak sawit mentah yang semakin buruk, meski baru dibahas di tingkat Komite Parlemen Eropa," kata Iman.
Hasil voting di Parlemen Eropa tersebut ternyata juga baru diketahui oleh Komisioner Parlemen Uni Eropa untuk Perdagangan, Cecilia Malmstrom, yang bertemu dengan Mendag Enggartiasto Lukita pada ajang ASEAN Economic Minister (AEM) di Filipina, belum lama ini.
"Malmstrom tampaknya baru tahu info ini dari Mendag dan akan segera cek ke Brussels. Namun, keputusan di tingkat Komite ini tidak atau belum punya kekuatan hukum sehingga belum ada tindakan apapun," papar dia.
Kekecewaan serupa juga disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Bayu Krisnamurthi. Menurutnya, voting tersebut merupakan langkah politik yang tidak menghormati kerja sama Indonesia dan Uni Eropa.
"Voting tersebut dilakukan atas laporan yang tidak benar, dan merupakan bentuk kampanye negatif yang nyata dan sangat bernuansa kepentingan persaingan dagang," tegas Bayu, baru-baru ini, di Jakarta.
Menurut Bayu, laporan tersebut tidak sesuai fakta. Setidaknya, ada empat poin yang membuktikan laporan tersebut tidak benar. Pertama, kajian Komisi Eropa pada 2013 menunjukkan bahwa deforestasi yang disebabkan sawit hanya 2,5% dan itu jauh lebih kecil dari pembukaan lahan oleh kedelai, peternakan sapi, jagung, dan pengembangan infrastruktur.
Kedua, ekspansi sawit di seluruh dunia hanya seperlima dari ekspansi kedelai dan jauh lebih kecil dari ekspansi rapeseed, tanaman sumber minyak nabati yang tumbuh di Eropa.
Ketiga, definisi deforestasi yang digunakan tidak menghormati kedaulatan peraturan yang berlaku di Indonesia karena termasuk perubahan dari hutan menjadi areal penggunaan lain (APL).
Poin keempat, pandangan itu juga tidak menghormati kenyataan bahwa sawit adalah salah satu kegiatan ekonomi yang mendukung sustainable development goals dan diakui APEC sebagai development product karena terkait dengan pembangunan perdesaan dan pengurangan kemiskinan dengan fakta bahwa 90% sawit di Afrika dan 45% di Indonesia diusahakan oleh petani kecil.
"Atas pertimbangan tersebut, kami mengusulkan agar pemerintah dan DPR melakukan langkah-langkah diplomasi tegas,” pintanya. Bayu menambahkan, pemerintah harus melakukan langkah nyata melalui forum seperti organisasi perdagangan dunia (WTO) untuk meminta perlakuan non diskriminatif.
"Jika memang sawit dituntut untuk bersertifikat berkelanjutan, setiap minyak nabati yang digunakan Uni Eropa termasuk kedelai, rapeseed, bunga matahari, dan lainnya juga dituntut bersertifikat sama. Pemerintah Indonesia harus menyiapkan langkah untuk melakukan pengaturan serupa bagi produk-produk impor, seperti kosmetik, susu/keju, anggur/wine, termasuk yang berasal dari Eropa," papar Bayu.
Tak urung pengamat energi Marwan Batubara pun ikut berkomentar atas pernyataan anggota Parlemen Eropa tersebut. Menurut dia, Uni Eropa tampaknya memang sengaja menghambat karena pengusaha di sana tidak bisa bersaing dengan sawit Indonesia. Jadi, mereka terus mencari cara dan jalan untuk menghambat.
"Mereka (negara) kerja sama dengan LSM lingkungan supaya bisnis mereka terlindungi. Sebagai contoh, mereka punya bisnis ada minyak dari bunga matahari, tapi selalu yang paling murah, produktif itu sawit. Karena kalau satu hektar sawit bisa menghasilkan sekian ton, tapi bunga matahari hanya setengahnya saja. Jadi mereka cari cara untuk menghambat itu," kata Marwan.
Dia pun tak menampik bahwa ada konspirasi politik atas usaha masuknya sawit ke Eropa. Pemerintah pun harus tahu cara-cara agar ini tidak berlanjut. Karena jika berlanjut, akan mengakibatkan terganggunya kinerja perdagangan kedua negara.
"Pemerintah harus tahu cara-cara untuk mengakhiri ini. Tapi sesuai pengalaman sih, coba saja dilakukan pendekatan dengan baik-baik, misalnya bilateral, ngobrol satu-satu dengan negara anggota EU, di negosiasi kan satu per satu," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengakui adanya voting atau non binding vote di Komite Kesehatan Lingkungan Parlemen Eropa bahwa sawit itu penyebab deforestrasi merusak lingkungan, hak azasi dan lainnya.
Meski demikian Fadhil tak mau buru-buru menanggapinya. "Tidak benar kalau sawit Indonesia diembargo di Eropa. Hasil voting tersebut mendorong agar seharusnya penggunaan sawit bisa lebih sustainable," tambahnya. ***SH, AP ( sumber: majalahhortus.com )
Parlemen Eropa Pun Mulai Sudutkan Sawit Featured
Parlemen Eropa yang beranggotakan negara-negara Uni Eropa, khususnya yang duduk di Komite Lingkungan, Kesehatan Masyarakat, dan Keamanan Pangan menyatakan bahwa sawit sebagai penyebab deforestasi, degradasi habitat, masalah HAM, standar sosial yang tak patut, dan masalah tenaga kerja anak.