“Dari 15 komoditas tersebut, sumbangan terbesar berasal dari kelapa sawit yang mencapai Rp260 triliun,” ungkap Bambang dalam acara Peringatan Hari Perkebunan ke-60 Tahun 2017 di Kampus Institut Pertanian Stiper (Instiper) Yogyakarta, baru-baru ini.
Bambang menambahkan, perkebunan memberikan peran yang sangat penting bagi fundamental ekonomi bangsa Indonesia. "Dalam kondisi yang belum terurus dengan baik, perkebunan dapat memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara,” ucapnya.
Dia menyebutkan, produktivitas kelapa sawit petani rata-rata nasional baru sekitar 2 ton per hektar (ha), padahal perusahaan sudah bisa mencapai kisaran 8-10 ton/ha.
"Pemerintah berkomitmen meningkatkan daya saing perkebunan nusantara. Karena dari kondisi yang belum baik saja sudah memberikan andil terbesar terhadap ekonomi. Apalagi kalau mampu memperkuat dan memperbaikinya,” tegasnya.
Oleh karena itu, Bambang mengajak semua komponen bangsa untuk ikut memperkuat komoditas perkebunan nasional di mata dunia. Sebab, kata dia, banyak negara yang tidak menghendaki perkebunan di Indonesia maju.
"Untuk itu, kita harus siap mengawal perkebunan Indonesia agar bebas dari tekanan luar negeri,” tukasnya.
Dikatakannya, berbagai isu negatif menerpa komoditas sawit. “Padahal sawit penyelamat hutan tropis dunia dan mengusahakan sawit dapat menghasilkan pangan maupun energi,” kata Bambang lagi.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Musdalifah Machmud mengatakan, perkebunan berperan sebagai sumber kemakmuran dan pemacu pembangunan wilayah terpencil.
“Daerah terpencil atau remote area mulai terbangun dari perkebunan. Sebab yang dapat membangun infrastruktur, komunitas sosial dan ekonomi baru berasal dari pengembangan tanaman perkebunan,” kata Musdalifah.
Menurut dia, perkebunan juga menjadi sumber perekat bangsa karena mampu merekatkan anggota masyarakat yang hidup di wilayah jauh dari perkotaan maupun pedesaan.
Rektor Institut Pertanian Stiper (Instiper) Yogyakarta, Purwadi menyatakan, perkebunan menjadi sumber kemakmuran. Hal ini dibuktikan masyarakat bisa sejahtera. Ini lantaran mereka sudah mampu mengubah cara pandang dari sumber eksploitasi menjadi teknik budidaya dengan baik.
Untuk itu, katanya, masyarakat harus mengubah cara pandang (mindset) seolah-olah perkebuan tempat orang miskin. “Kita juga sering mengesankan perkebunan itu kumuh dan kotor. Padahal, perkebunan itu akan baik apabila menggunakan teknologi.”
Ketua Komisi IV DPR Edhy Prabowo menambahkan, Indonesia tidak gentar dengan resolusi sawit Uni Eropa, karena pasar ekspor sawit ke Uni Eropa hanya 15% dari total volume nasional.
"Apabila kita hentikan ekspor minyak sawit ke Eropa, saya yakin mereka akan kewalahan. Meskipun mereka mengakui impor sawit di Indonesia terus meningkat mencapai US$2 miliar,” katanya.
Menurutnya, resolusi sawit Uni Eropa adalah bukti bahwa antar negara tidak ada saling membantu. “Resolusi sawit Uni Eropa membuat rakyat Indonesia susah. DPR Indonesia telah minta kepada Parlemen Uni Eropa untuk membatalkan resolusi tersebut,” tegasnya.
Pengamat politik J. Kristiadi mengatakan, persoalan sawit di pasar internasional adalah persoalan kepentingan. Negara maju menggunakan segala instrumen untuk menghambat sawit. Negara maju membuat akal-akalan dengan macam-macam skema sertifikasi.
“Antar negara tidak ada pertemanan, yang ada persaingan. Sehingga Indonesia harus menggunakan keindonesiaan untuk memperjuangan sawit di kancah internasional,” kata Kristiadi.
Salah satunya, adalah dengan memperkuat dan meyakinkan pihak asing bahwa Indonesia sangat berkomitmen dalam melakukan praktik budidaya perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.
Ini dibuktikan dengan adanya sertifikasi Indonesian Sustainability Palm Oil (ISPO). Perlu diketahui bahwa hingga saat ini jumlah sertifikasi ISPO yang telah diterbitkan sebanyak 346 dengan luas lahan 2.041.548,80 ha dengan total produksi CPO mencapai 8.757.839,40 ton. sumber: majalahhortus.com
Industri Perkebunan Topang Ekonomi Nasional
Industri perkebunan merupakan kekuatan dan penopang ekonomi nasional. Pada 2016, industri ini mampu memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar Rp 429 triliun. Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Bambang menyatakan, pendapatan sektor perkebunan ini telah melebihi sektor minyak dan gas (migas) yang nilainya hanya Rp365 triliun. Dari 127 komoditas perkebunan, hanya 15 komoditas saja yang menghasilkan devisa.