Sehingga ada serangkaian insentif agar kelapa sawit menjadi maju; meningkatkan profesionalitas seluruh sektor di kelapa sawit, dari hulu hingga hilir; dan di bidang Hukum, agar RUU Perkelapasawitan ini jadi jalan keluar terhadap carut marutnya perizinan.
“Perkebunan kelapa sawit, di satu sisi memiliki manfaat secara nasional, misalnya sebagai komoditas paling produktif di antara komoditas lain, menyerap banyak tenaga kerja, serta menjadi komoditas andalan nasional. Namun, di lain hal, perkebunan kelapa sawit kerap memberikan dampak buruk secara sosial atau lingkungan,” ujar Hamdhani di Jakarta, baru-baru ini.
Hamdhani juga tidak setuju jika RUU ini dinilai overlaping dengan UU Perkebunan. Karena UU Perkebunan itu mengatur 127 komoditi. Sementara itu, UU ini mengatur khusus tentang kelapa sawit.
“Untuk menyelesaikan perkelapasawitan perlu sebuah UU yang sifatnya lex specialis. Karena sawit itu sudah memberikan kontribusi terhadap negara berupa devisa yang jumlahnya Rp 300 triliun per tahun atau sudah di atas penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi,” paparnya.
Selain itu, sawit itu juga terbukti bisa mengatasi kesenjangan ekonomi masyarakat di Pulau Jawa dan luar Jawa. Di sisi lain ada juga persoalan petani dan masyarakat adat yang perlu ditata ulang dan diatur karena banyaknya lahan milik masyarakat yang dihutankan kembali oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) di Provinsi Kalimantan Tengah.
“Selain banyak permasalahan lahan milik petani di Kalteng statusnya belum jelas. Di sisi lain, yang namanya sawit ini dihadapkan pada kompetitor Malaysia yang sudah punya UU yang lebih rijid, sedangkan pasar CPO dunia itu yang menguasai Indonesia. Kalau kita tidak segera bikin regulasi, maka tak menutup kemungkinan kita akan digeser Malaysia sehingga potensi penerimaan negara akan mengalami penurunan,” jelas Hamdhani, yang juga anggota Komisi IV DPR-RI ini.
Hal yang sama disampaikan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg), Firman Soebagyo. Kata dia, sebuah undang-undang yang dibuat harus berpihak kepada kepentingan nasional. Komoditas unggulan nasional, seperti; sawit, dan tembakau harus dilindungi melalui undang-undang demi kepentingan nasional.
Menurut Firman, komoditas sawit merupakan potensi ekonomi yang memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan devisa negara hingga 20 miliar dolar Amerika Serikat (AS) per tahun. Indonesia adalah negara pengekspor crude palm oil (CPO) terbesar di dunia, sementara Malaysia adalah negara pengekspor CPO kedua setelah Indonesia.
Di Malaysia, lanjut Firman, negara itu sudah mempunyai UU Sawit. Dalam konteks ini, Indonesia perlu memiliki payung hukum untuk melindungi sektor perkelapasawitan.
Dikatakan Firman, RUU Perkelapasawitan akan mengatur hulu sampai hilir. Selain juga akan lebih memperhatikan kedaulatan petani pekebun dan tenaga kerja. “RUU ini juga menegaskan agar pemerintah mempunyai blue print dan grand strategy yang jelas dalam pembangunan sektor perkelapa sawitan,” katanya.
Firman mengingatkan agar negara tidak boleh membuat regulasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Negara, lanjut dia, harus melindungi komoditi strategisnya. “Negara tidak boleh kalah dengan intervensi asing lewat tekanan NGO tertentu yang tidak jelas maksud tujuannya,” tukas dia.
Di lain sisi, DPR harus mampu memberikan sebuah payung hukum bagi semua masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, DPR harus mampu melahirkan UU yang berkeadilan, tidak diskriminatif baik bagi kalangan petani, tenaga kerja, dan stakeholders terkait lainnya.
Baleg akan pro aktif dan menganut azas transparansi dalam pembahasan UU Perkelapasawitan, serta akan melibatkan pemerintah daerah penghasil CPO terkait dengan bagi hasil daerah dan pajak.
Petani sawit mendukung Badan Legislasi (Baleg) DPR yang memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkelapasawitan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018. Sebagai komoditas strategis nasional, sawit dinilai perlu dilindungi negara melalui sebuah undang-undang.
Wakil Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkas¬indo), Rino Afrino mendukung RUU Perkelapasawitan segera diundangkan. Keberadaan un¬dang-undang ini akan menegaskan posisi sawit sebagai komoditas strategis nasional.
"Karena menyangkut pen¬erimaan negara yang besar dan kesejahteraan masyarakat. Jadi memang industri ini harus dilind¬ungi aturan khusus," kata Rino.
Pihaknya optimis, jika RUU ini diundangkan maka per¬masalahan di tingkat petani akan bisa diselesaikan. Selama ini, kata dia, petani sawit masih saja berkutat pada persoalan tata ruang, sertifikasi, produktivitas tanaman yang rendah, lahan gambut, tata niaga tandan buah segar (TBS), serta kemitraan dengan perusahaan. "Jadi kami dukung RUU Sawit masuk Pro¬legnas 2018," tegas Rino. ***SH ( Sumber: http://majalahhortus.com )
RUU Perkelapasawitan Masuk Prolegnas 2018 Featured
Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) memasukkan RUU Perkelapasawitan ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2018. Pasalnya, sebagai komoditas strategis nasional, kelapa sawit perlu dilindungi negara melalui regulasi dalam bentuk undang-undang (UU). Anggota Baleg DPR-RI, Hamdhani mengatakan, ada beberapa alasan utama pentingnya RUU Perkelapasawitan ini, yakni di bidang sosial ekonomi, ingin memastikan kesejahteraan petani. Karena dalam RUU ini memprioritaskan PMDN.