Data Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyebutkan, saat ini luas perkebunan rakyat mencapai 4,7 juta hektar, terdiri atas 1 juta ha milik petani plasma dan 3,7 juta ha milik petani swadaya. Dari luas itu, petani memproduksi 11 juta ton CPO atau menyumbang 30% terhadap produksi nasional.
Menurut Wakil Sekjen Apkasindo Rino Afrino, penggunaan bibit tidak unggul (illegitim seeds) oleh petani swadaya itu umumnya dilatarbelakangi ketidak tahuan petani karena tidak adanya pendampingan dari perusahaan.
Bahkan, data terakhir Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, menyebutkan, produktivitas perkebunan sawit rakyat hanya 2 ton CPO per ha per tahun, jauh dibandingkan dengan perkebunan swasta yang berkisar 4-8 ton per ha per tahun.
Rendahnya produktivitas ini akibat petani ingin menanam sawit dengan cepat dan murah, tanpa mempedulikan lagi hasilnya. Padahal, salah memilih bibit, kerugian akan ditanggung untuk waktu yang lama.
"Pokoknya mereka (petani swadaya) cari bibit murah, cari cepat, pokoknya berbuah. Begitu sudah berbuah, baru kelihatan tidak optimum," katanya.
Selain itu, pada saat yang sama, petani tidak mengelola kebun dengan benar, mulai dari perawatan tanaman, pemupukan, hingga pemanenan. Mereka, misalnya, tidak tahu cara membersihkan gawangan atau memotong pelepah dengan benar. Saat panen pun, petani tidak memiliki pengetahuan apakah buah benar-benar telah matang.
Penyebab berikutnya, peremajaan kebun yang terlambat. Seperti diketahui, pemerintah baru meremajakan kebun petani baru-baru ini, itu pun dengan luas hanya sekitar 4.000 ha.
"Ini tidak signifikan dengan kebutuhan kebun sawit kita yang kalau kami lihat lebih dari 1 juta ha umurnya di atas 25 tahun. Bahkan di Riau, saja 68.000 ha di atas 25 tahun. Belum lagi yang tidak produktif karena menggunakan benih yang tidak baik," ungkap Rino.
Di sisi lain, kelembagaan petani belum kuat karena belum menyatu dalam koperasi atau kelompok petani. Akibatnya, akses terhadap perbankan untuk permodalan dan akses terhadap Badan Pertanahan Nasional untuk legalitas lahan menjadi terbatas.
"Kunci penyelesaiannya adalah pendampingan, ada pihak-pihak yang selalu mengawal, ada kemitraan. Kemitraan itu wajib sesuai dengan UU Perkebunan. Perusahaan dan pekebun harus bermitra," kata Rino.
Apkasindo memperkirakan produksi CPO dari perkebunan rakyat meningkat 20% tahun depan jika ditopang oleh pemupukan yang benar dan replanting yang berjalan baik.
Rendahnya produktivitas kebun sawit rakyat diakui Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Bambang. Menurutnya, rata-rata produktivitas TBS perkebunan sawit rakyat hanya 2 ton per hektar. Jauh di bawah angka produktivitas kebun sawit di Negeri Jiran Malaysia yang bisa mencapai 8-12 ton CPO per hektar.
"Kita ini baru 2 ton per hektar, padahal kita bisa tingkatkan hingga potensi 8 ton per hektar, Malaysia saja bisa capai 12 ton," ucap Bambang.
Akibat rendahnya produktivitas perkebunan sawit rakyat yang luasnya 4,7 juta hektar ini, ada potensi kehilangan yang setiap tahunnya mencapai Rp 120 triliun.
"Kita kehilangan setahun Rp 120 triliun karena nggak mampu meningkatkan produktivitas perkebunan sawit kita," jelasnya.
Menurut Bambang, rendahnya produktivitas kebun sawit rakyat ini karena dua sebab yang paling dominan, yakni usia tanaman yang sudah tua, serta bibit pohon sawit yang tidak berkualitas.
Untuk tahun 2017 lalu, lanjut Bambang, Kementan baru bisa melakukan peremajaan kebun sawit atau replanting seluas 27.800 hektar. Jauh dari lahan sawit rakyat yang seharusnya bisa dilakukan replanting seluas 2,4 juta hektar.
"Peremajaan 27.800 hektar walaupun target ini belum besar, masih kecil dari target kelapa sawit yang harus di-replanting dari 4,7 juta hektar, ada 2,4 juta hektar yang perlu di-replanting, baik karena usia tua atau berasal dari benih yang nggak mutu," tutur Bambang.
Seperti dilansir Bernama, Malaysian Palm Oil Board (MPOB) telah menargetkan peningkatan produksi CPO petani 6 ton per hektar dengan meningkatkan produktivitas melalui integrasi teknologi terkini.
Direktur Jenderal MPOB, Datuk Dr Ahmad Kushairi Din, mengatakan, pihaknya aktif melakukan penelitian dan pengembangan melalui pemuliaan genom bibit sawit dan teknologi kultur jaringan.
"Kami ingin meningkatkan produktivitas tak hanya melalui proses penelitian dan pengembangan, tapi juga melalui pemilihan pupuk dan metode pengendalian hama, tenaga kerja dan integrasi teknologi, seperti pemakaian Global Positioning System untuk mengumpulkan data, dan juga memonitor tanaman dan produk sawit," paparnya.
Dengan strategi tersebut, katanya, MPOB menargetkan dapat meningkatkan produksi minyak sawit menjadi 6 ton per hektar, dan bahkan beberapa area tanam berpotensi memproduksi total 18,2 ton per hektar.
Untuk diketahui, peningkatan produktivitas kebun kelapa sawit mendesak untuk dilakukan. Sebab, situasi ini terkait dengan tantangan dan persaingan di pasar internasional di masa depan.
Indonesia harus terus-menerus memperkuat posisi dan daya saing komoditas unggulan kelapa sawit Indonesia jika tidak ingin kalah dengan negara lain, apalagi tersingkir dalam persaingan di pasar minyak nabati dunia.
Di samping pentingnya peningkatan produktivitas petani yang akan dilakukan melalui replanting maupun perbaikan budidaya, hal lain yang perlu diperhatikan adalah dukungan pihak perusahaan melalui kerja sama kemitraan yang luas.
Selain itu, inovasi teknologi diyakini dapat meningkatkan produktivitas benih kelapa sawit dan pada akhirnya mempertahankan daya saing Indonesia di pasar global komoditas tersebut. Salah satu hasil inovasi tersebut adalah bibit yang memiliki potensi produksitivitas 6-8 ton CPO per ha per tahun.
Direktur PPKS PT Riset Perkebunan Nusantara, Hasril Hasan Siregar mengatakan, inovasi yang terus-menerus telah mengangkat produktivitas sawit yang pada dekade 1960 hanya menghasilkan CPO 4,3 ton per ha per tahun.
Kini, melalui integrasi teknologi biologi molekuler ke dalam sistem pemuliaan konvensional, serta penerapan perbanyakan secara kultur jaringan akan mampu meningkatkan potensi produksi menjadi lebih dari 10 ton CPO per ha per tahun.
"Peranan riset dalam menghadirkan inovasi akan terus diperlukan dari masa ke masa," kata Hasril.
Dia mengatakan, produktivitas kelapa sawit masih relatif rendah, yakni 15%-35% atau di bawah produktivitas potensial, sehingga memerlukan dukungan riset, inovasi dan penerapan praktik terbaik.
"Inovasi kultur teknis terutama pemupukan yang efisien, berimbang dan efektif tentunya selalu diperlukan untuk mencapai produktivitas potensial," katanya.
Hasril juga menyebutkan beberapa inovasi lainnya yang sudah dikembangkan untuk menjawab tantangan teknis perkelapasawitan terkini, a.l. perakitan bahan tanaman unggul kelapa sawit moderat tahan Ganoderma, pemanfaatan teknologi drone dalam monitoring penyakit
Ganoderma, penerapan sistem peremajaan yang efektif untuk areal endemik Ganoderma, aplikasi teknologi tata air di lahan gambut atau pasang surut, serta penerapan sistem irigasi pada lahan kering.
Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Bayu Krisnamurthi menambahkan, Indonesia harus dapat memproduksi minimal 25 ton tandan buah segar kelapa sawit per hektar per tahun jika negara ini ingin mempertahankan daya saingnya di pasar minyak nabati dunia.
Produktivitas TBS itu hendaknya diikuti pula dengan rendemen (yield) setidaknya 25% atau menghasilkan CPO 5-6 ton per ha per tahun. Lompatan produktivitas itu penting untuk menggapai visi menggandakan suplai CPO Indonesia ke pasar dunia sekitar 60 juta ton pada 2050.
Saat ini, produktivitas TBS banyak yang masih di bawah 20 ton per ha, terutama dialami oleh petani swadaya karena umur tanaman sudah tua atau kualitas benih tidak baik. Akibatnya, CPO yang dihasilkannya pun hanya sekitar 2,5-3 ton per ha kendati masih lebih unggul dibandingkan dengan produktivitas minyak rapeseed yang hanya 0,6 ton per ha, minyak biji bunga matahari 0,5 ton per ha, dan minyak kedelai 0,4 ton per ha.
Bayu mengatakan, ruang untuk mengerek produktivitas TBS dan CPO itu berada pada perkebunan rakyat mengingat yield yang dihasilkan perkebunan swasta sudah relatif tinggi.
"Tidak sekadar mempertahankan keberlanjutan kelapa sawit, kita juga harus mempertahankan keberlanjutan daya saing sawit. Kita menjadi nomor satu (eksportir minyak nabati) karena memiliki daya saing, daya saing yang memberikan manfaat kepada petani sawit," jelas Bayu.
Meskipun demikian, lanjut Bayu, sawit hendaknya tidak dibatasi untuk sekadar menghasilkan CPO. Menurut dia, sawit harus menghasilkan multiproduk, mulai dari cairan, padatan, hingga gas. ***SH
Penyebab Rendahnya Produktivitas Sawit Petani Featured
Penggunaan benih palsu atau asalan diduga sebagai biang keladi rendahnya produktivitas perkebunan sawit rakyat. Kondisi itu terjadi karena kurangnya pengetahuan petani dan mahalnya benih unggul bersertifikat.