Mungkinkah kekalahan Eropa dalam gugatan pengenaan BMAD atas biodiesel Indonesia tersebut telah mendorong mereka untuk berencana menghapus pemakaian biodiesel berbahan baku sawit di Eropa mulai tahun 2021.
Terlepas benar tidaknya skenario seperti itu, yang jelas Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menegaskan bahwa kini akses pasar biodiesel semakin lebar dan bisa kembali memulihkan ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa. Pasalnya, setelah BMAD ditetapkan sebesar 8,8 persen hingga 23,3 persen pada 2013 silam, ekspor biodiesel Indonesia ke Eropa melorot tajam.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa turun sebesar 42,84 persen antara tahun 2013 hingga 2016, dari US$649 juta menuju US$150 juta pada tahun 2016. Nilai ekspor biodiesel Indonesia paling rendah ke Uni Eropa terjadi pada tahun 2015, di mana nilai pengiriman biodiesel ke benua biru itu hanya US$68 juta.
"Hal ini merupakan bentuk kemenangan telak untuk Indonesia yang tentunya akan membuka lebar akses pasar dan memacu kembali kinerja ekspor biodiesel ke Uni Eropa bagi produsen Indonesia, setelah sebelumnya sempat mengalami kelesuan akibat pengenaan BMAD,” kata Enggartiasto melalui siaran pers, belum lama ini.
Enggar juga mengatakanbahwa kemenangan Indonesia atas sengketa ini memberikan harapan kepada eksportir atau produsen biodiesel Indonesia. Sejauh ini, pangsa pasar ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa sejak pengenaan BMAD sampai keluarnya putusan akhir WTO ini diestimasikan sebesar 7 persen.
“Jika peningkatan tersebut dapat dipertahankan dalam dua tahun ke depan, maka nilai ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2019 diperkirakan akan mencapai US$386 juta dan pada tahun 2022 akan mencapai US$1,7 miliar,” paparnya.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Oke Nurwan menjelaskan, hasil putusan DSB WTO ini dapat menjadi acuan bagi semua otoritas penyelidikan anti dumping agar konsisten dengan peraturan WTO, terutama selama proses investigasi. Kasus ini, ujar dia, perlu menjadi bahan evaluasi agar tidak gampang menuduh Indonesia sebagai pelaku praktik dumping.
“Komitmen kami dalam mengamankan pasar ekspor adalah mengawal ekspor Indonesia agar kembali dapat bersaing di pasar negara tujuan ekspor, seperti Uni Eropa,” tukasnya.
Sementara itu, Direktur Pengamanan Perdagangan Pradnyawati menjelaskan, sebagai konsekuensi kemenangan Indonesia dalam sengketa biodiesel dengan UE tersebut, maka putusan Panel Badan Penyelesaian Sengketa WTO harus diimplementasikan sejalan dengan ketentuan WTO.
"Uni Eropa diwajibkan melakukan penyesuaian BMAD yang telah dikenakan sebelumnya agar sejalan dengan peraturan Perjanjian Anti Dumping WTO," katanya.
Demi menyelesaikan sengketa BMAD biodiesel, Indonesia sebelumnya memutuskan menempuh jalur hukum, melalui pengadilan di Uni Eropa maupun penyelesaian sengketa di DSB WTO.
Indonesia mengajukan tujuh klaim gugatan utama kepada Uni Eropa. Tak hanya sampai di situ, pembelaan Indonesia juga disampaikan dalam sidang First Substantive Meeting (FSM) pada Maret 2017 dan dilanjutkan dalam sidang Second Substantive Meeting empat bulan setelahnya.
Akhirnya, panel DSB WTO telah melihat bahwa Uni Eropa tidak konsisten dengan peraturan perjanjian Anti Dumping WTO selama proses penyelidikan dumping hingga penetapan BMAD atas impor biodiesel dari Indonesia.
Ternyata, ada enam ketentuan perjanjian Anti Dumping WTO yang dilanggar Uni Eropa dalam sengketa Indonesia mengenai pengenaan BMAD biodiesel.
Pertama, Uni Eropa tidak menggunakan data yang disampaikan eksportir Indonesia dalam menghitung biaya produksi. Kedua, Uni Eropa tidak menggunakan data biaya-biaya yang terjadi di Indonesia pada penentuan nilai normal sebagai dasar penghitungan margin dumping. Ketiga, Uni Eropa menentukan batas keuntungan yang terlalu tinggi untuk industri biodiesel di Indonesia.
Keempat, metode penentuan harga ekspor untuk salah satu eksportir Indonesia tidak sejalan dengan ketentuannya. Kelima, Uni Eropa menerapkan pajak yang lebih tinggi dari margin dumping. Keenam, Uni Eropa tidak dapat membuktikan bahwa impor biodiesel asal Indonesia mempunyai efek merugikan terhadap harga biodiesel yang dijual oleh industri domestiknya.
Tunggu Mekanisme
Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) berharap ekspor biodiesel Indonesia ke Eropa kembali pulih setelah keputusan WTO ini. Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan menyambut lega atas keputusan WTO yang memenangkan Indonesia.
Namun Paulus menyatakan belum bisa memproyeksikan besaran ekspor biodiesel ke Uni Eropa pada tahun ini. "Harapan kami, kita bisa kembali melakukan ekspor ke Eropa, karena sampai sekarang masih menunggu mekanismenya," katanya.
Sembari menunggu kepastian mekanisme ekspor ke Eropa, dia mengatakan, sampai saat ini produsen biodiesel nasional berfokus memenuhi kebutuhan biodiesel domestik. Selain itu, Indonesia juga sedang bernegosiasi dan menjajaki pasar biodiesel dengan China, Pakistan, dan India. Pasar sejumlah negara itu diyakini potensial.
Tahun ini, Aprobi memproyeksikan produksi biodiesel dalam negeri mencapai 3,5 juta kiloliter. Sebagai perbandingan, sampai November 2017, produksi biodiesel Indonesia mencapai 3,13 juta kiloliter (KL). Dari jumlah tersebut, 2,35 juta KL untuk domestik dan 179.000 KL untuk ekspor.
Direktur Eksekutif Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Iskandar Andi Nuhung menilai Indonesia belum bisa berpuas diri atas kemenangan ini. "Harus dicermati supaya tidak ada upaya lain yang menghambat," katanya menekankan.
Gunakan Dana Pengutwan Sawit
Paulus lenih jauh menekankan bahwa pendanaan subsidi biodiesel tidak mengambil Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semenjak tahun 2015 hingga sekarang. Tetapi menggunakan dana pungutan CPO yang diperoleh dari ekspor produk sawit dan produk turunannya.
Dana pungutan inilah yang dihimpun dan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit. Pernyataan ini diharapkan dapat menepis informasi yang berkembang di sejumlah media massa bahwa program biodiesel mengandalkan anggaran pemerintah.
“Jelasnya, dukungan untuk program biodiesel tidak mengambil dana (subsidi) pemerintah. Tetapi dari pungutan ekspor sawit dan turunannya dari perusahaan sawit setiap bulan,” tegas Paulus.
Dia menambahkan, program biodiesel mendapatkan sokongan 100% dari pihak swasta yang mengekspor produk sawit dan turunannya. Menurut Paulus, pihak swasta mempunyai niat baik untuk menggenjot program mandatori biodiesel yang berhenti pada 2014. Kala itu, program biodiesel berhenti lantaran terjadi defisit perdagangan luar negeri sebagai dampak impor minyak bumi melonjak hingga US$ 5,6 miliar. Sedangkan, perdagangan ekspor hanya US$ 4 miliar sehingga terjadi minus perdagangan sekitar US$ 1,6 miliar.
Paulus menyebutkan atas inisiatif dari perusahaan sawit/pengekspor bersama pemerintah merancang program pengumpulan dana untuk meningkatkan kembali penerimaan pemerintah, petani sawit dan swasta, menjalankan kembali program BBN-Biodiesel serta program lainnya seperti replanting, riset, dan promosi.
“Dana inilah yang dikelola dan disalurkan BPDP-KS salah satunya untuk pembayaran selisih harga antara harga solar dan harga biodiesel ke perusahaan biodiesel. Sebab, pemerintah (Pertamina) tidak mau menanggungnya,” paparnya.
Paulus mengatakan membandingkan antara iuran dari perusahaan pengekspor produk sawit dengan pembayaran atas selisih harga solar dan harga biodiesel ke produsen biodiesel adalah tidak relevan.
“Karena itu tidak tepat. Berusaha memojokkan perusahaan BBN biodiesel Indonesia dan berpotensi menggagalkan program BBN Indonesia,” ujar Paulus.
Sebagai contoh, salah satu perusahaan membayar iuran yang besar karena mengekspor sawit, akan tetapi perusahaan tersebut tidak memiliki pabrik biodiesel. Maka perusahaan tersebut tidak mendapatkan pembayaran selisih harga dari BPDP Kelapa Sawit..
Selain itu, ada beberapa produsen biodiesel yang tidak memiliki kebun sawit dan ada yang mempunyai kebun namun bukan pengekspor produk sawit. “Alokasi pasokan produsen biodiesel pro rata disesuaikan dengan kapasitas pabrik yang ditetapkan Ditjen EBTKE ESDM, sampai saat ini telah berjalan dangan baik,” jelas Paulus. *** SH, AP
Indonesia Menangkan Gugatan Bea Masuk Biodiesel ke Eropa Featured
Indonesia akhirnya memenangkan gugatan yang diajukan terhadap Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) atas pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) produk biodiesel asal Indonesia. Hasil akhir putusan panel Dispute Settlement Body (DSB) WTO memenangkan enam gugatan Indonesia atas Uni Eropa.