Penyerahan penghargaan yang cukup bergengsi itu disampaikan oleh Dirjen Perkebunan Bambang selaku Ketua Komisi ISPO kepada Direktur PT MISB Rismansyah Danasaputra pada acara 2nd International Conference and Expo on ISPO 2018 yang digelar di Balai Kartini, Jakarta, medio April 2018.
Dalam sambutannya Bambang menyebutkan bahwa pencapaian ISPO sampai saat ini masih perlu ditingkatkan. Berbagai persoalan seperti aspek legalitas, kemitraan, komitmen tata kelola yang baik, lemahnya SDM dan kelembagaan petani menjadi rangkaian yang harus terus dibenahi.
Saat ini di Indonesia tidak kurang dari 1.500 perusahaan berkecimpung di bidang industri sawit. Namun sampai tahun 2017 yang sudah mendapatkan sertifikat ISPO baru 342 perusahaan perkebunan (22.8%), 3 KUD (kebun plasma) dan 1 asosiasi (kebun swadaya), dengan luas total 2.041 juta hektar (Ha) dan produksi CPO sebesar 8,7 juta ton.
“Sebelum seluruh pelaku di industri sawit Indonesia totalitas melaksanakan ISPO, saya kira kemungkinan-kemungkinan pelemahan industri sawit kita masih terus tinggi. Oleh karena itu, saya mengajak segera bergegas menjadikan ISPO sebagai kewajiban kita semua,” pinta Bambang.
Dijelaskan Dirjen Perkebunan, UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan telah mengamanatkan pembangunan perkebunan harus berpedoman kepada prinsip-prinsip perkebunan berkelanjutan. Dalam konteks itu, Kementerian Pertanian telah menerbitkan regulasi pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), sebagaimana tertuang dalam Permentan No. 11 Tahun 2015.
Bambang menegaskan, Permentan No. 11/2015 tentang ISPO merupakan regulasi yang wajib diterapkan oleh perusahaan kelapa sawit dalam upaya memelihara lingkungan, meningkatkan kegiatan ekonomi, sosial, dan penegakan peraturan perundangan Indonesia di bidang perkelapa sawitan. Penyusunan sistem sertifikasi ISPO mengacu/didasarkan pada 139 peraturan, mulai undang-undang sampai dengan peraturan Dirjen berbagai instansi pemerintah.
Sistem sertifikasi ISPO adalah serangkaian persyaratan yang terdiri dari 7 (tujuh) prinsip, 34 (tiga puluh empat) kriteria dan 141 (seratus empat puluh satu) indikator yang mencakup isu hukum, ekonomi, lingkungan dan sosial, sebagaimana tertuang dalam Permentan No. 11/2015, untuk perusahaan kelapa sawit yang terintegrasi kebun dan pengolahan. Adapun perusahaan perkebunan kelapa sawit yang wajib mensertifikatkan adalah yang melakukan usaha budidaya; usaha pengolahaan kelapa sawit dan yang terintegrasi kebun dengan unit pengolahan hasil.
Menurut catatan Rismansyah, ada beberapa permasalahan dalam sertifikasi ISPO yang menyebabkan luas perusahaan perkebunan yang tersertifikasi ISPO sampai saat ini masih terbilang rendah, antara lain (a) Permasalahan yang ada di klien atau auditee atau di perusahaan itu sendiri, (b) Permasalahan di Lembaga Sertifikasi dan (c) Permasalahan dari pemerintah yang mempunyai regulasi.
Permasalahan dari sisi auditee dapat disampaikan bahwa mayoritas perusahaan belum sepenuhnya siap untuk diaudit ISPO, mereka belum mengetahui apalagi memahami ISPO, perizinan yang masih belum tertata dengan baik bahkan ada yang masih dalam proses perizinan yang memang membutuhkan waktu yang relatif lama dan biaya mahal. Selain itu, juga lemahnya pencatatan, rekaman dan informasi, sarana dan prasarana pendukung kebun dan atau pabrik yang belum sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundangan termasuk di dalamnya penanganan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dari aspek lingkungan, demikian juga penanganan Kesehatan, Keselamatan Kerja (K3).
Lalu permasalahan yang ada di Lembaga Sertifikasi yang paling menonjol di lapangan, ungkap Direktur LS MISB, adalah terkait dengan kompetensi para auditor dan pemahaman prinsip dan kriteria ISPO yang multitafsir yang menimbulkan diskusi panjang antara auditor dengan internal auditor yang ada di perusahaan sehingga sangat mengganggu jalannya sertifikasi. Jumlah auditor yang telah lulus mengikuti pelatihan ISPO sampai saat ini berjumlah 1.184 orang, dimana yang benar-benar mempunyai kompetensi auditor dan tergabung pada 12 Lembaga Sertifikasi yang telah diakreditasi KAN kurang dari sepertiganya.
Lebih lanjut Rismansyah menambahkan bahwa terjadinya multitafsir salah satunya sebagai akibat dari permasalahan pemerintah dalam menerapkan regulasi yang inkonsisten bahkan bertentangan satu sama lainnya. Semisal, standar penerapan gambut, overlapping pemetaan kawasan hutan dengan APL dan lainnya. Koordinasi yang lemah dan ego sektoral yang menghasilkan tumpang tindihnya aspek legalitas perkebunan yang mengakibatkan banyaknya perusahaan perkebunan yang tidak dapat memenuhi P dan C ISPO selama ini.
Tata kelola di dalam sistem sertifikasi ISPO dewasa ini juga secara tidak langsung ikut andil dalam terlambatnya sertifikasi ISPO, bagaimana tidak di dalam penetapan sertifikasi ISPO, Komisi ISPO memegang peranan yang cukup signifikan melalui proses rapat Tim Penilai yang merekomendasikan auditee ini lolos atau tidaknya, selanjutnya dibahas lagi di Komisi ISPO untuk menetapkan lolos atau tidaknya. Persoalannya rapat Tim Penilai ataupun rapat Komisi ISPO tidak serta merta dilakukan setiap saat, tapi dalam setahun paling banyak dilakukan dua atau tiga kali saja.
Bagaimana dengan sertifikasi kebun plasma atau kebun swadaya yang sampai saat ini tercatat baru 3 KUD (Kebun Plasma) dan 1 Asosiasi (Kebun Swadaya), dengan luas lahan yang tersertifikasi 3.631 Ha (0,06%) dari total seluas 5.613.241 Ha yang permasalahannya semakin tidak mudah, bahkan lebih rumit dibandingkan dengan perusahaan perkebunan.
“Semua catatan di atas menjadi pekerjaan rumah bersama semua stakeholder perkelapasawitan kita yang harus cerdas ditangani dan dicarikan solusi yang tepat, komprehensif dan berkelanjutan. Semoga ISPO tumbuh berkembang dan semakin diperhitungkan sebagai standar kelestarian di era milenia ini. Aamiin,” katanya. *** sumber: majalahhortus.com