Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Bambang mengatakan, Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) adalah solusi jitu untuk melawan kampanye negatif yang dilancarkan oleh pasar global terhadap komoditas primadona perkebunan Indonesia ini, yang selalu berkutat pada tudingan deforestasi, pekerja di bawah umur dan kebun yang tidak berkelanjutan.
“ISPO adalah penyadaran supaya kita menyelesaikan perkebunan kelapa sawit dengan tata kelola yang benar sehingga mereka akan kesulitan menyerang kita dengan kampanye negatif,” tegas Bambang, baru-baru ini, di Jakarta.
Maka itu, dia menekankan supaya para pelaku usaha dan petani menyelesaikan masalah legalitas lahan perkebunan dengan segera, baik yang menyangkut surat hak guna usaha (HGU) atau surat hak atas tanah.
Menurutnya, daripada para pelaku usaha dan petani berpolemik tentang rumitnya mendapatkan ISPO, sebaiknya semua pemangku kepentingan bekerjasama agar mandatori itu dapat terealisasi 100% pada 2020.
Bambang mengatakan terkait perizinan perkebunan dan legalitasnya Kementan sudah memberi kewenangan kepada bupati dan gubernur, karena menurutnya kedua pejabat tersebut yang paling paham dengan wilayah setempat.
“Tapi memang terdapat keterbatasan pada sumber daya dana dan tenaga. Saran saya agar dana BPDP-KS dapat turun untuk membantu [proses sertifikasi], masa pemda minta dana ke perusahaan,” katanya.
Dia menjelaskan, supaya program ISPO dapat terealisasi, harus jelas garis antara perkebunan dan kawasan. Ketika pelaku usaha dan petani sudah mengantongi HGU (Hak Guna Usaha) dan Surat Tanda Daftar Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan (STD-B) maka peruntukan lahan itu adalah kebun, jadi tidak bisa dipaksakan menjadi kawasan hutan.
Bagi pelaku usaha yang masih mentok pada urusan legalitas di lahan yang dianggap termasuk kawasan hutan, Bambang mengatakan, akan coba membantu menegosiasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Kita bantu negosiasi ke KLHK tapi kalau tidak bisa berarti mereka harus sadar bahwa harus mengembalikan itu ke fungsi hutan. Kalau bisa dilepas ya dilepas. Kalau bisa di HGU ya di HGU-kan.”
Dalam kurun waktu lima tahun (2013—2018) Komisi ISPO sudah menerbitkan 413 sertifikat meliputi 407 perusahaan, 3 KUD Pekebun Plasma dan 3 Koperasi Pekebun Swadaya. Adapun lahan kebun yang sudah tersertifikasi yakni 2,3 juta ha dengan total produksi tandan buah segar 45,7 juta ton per tahun dan produksi crude palm oil (CPO) 10,2 juta ton.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, regulator harusnya melihat dengan azas praduga tak bersalah. Menurutnya, ada pelaku usaha yang sengaja memasuki kawasan dan pelaku usaha yang tidak sengaja.
“Apakah ada yang sengaja? Mungkin ada. Tetapi kalau sengaja itu yang melanggar kawasan hutan kan ada hukumnya. Nah kategori kedua yang tidak sengaja itu banyak,” katanya.
Joko memberikan contoh pelaku usaha yang tidak sengaja itu sejatinya sudah mengantongi HGU, tapi secara tiba-tiba lahan perkebunannya ditetapkan sebagai kawasan hutan.
“Kasusnya itu bukan karena HGU baru, tapi [HGU sudah dikantongi] sudah puluhan tahun. HGU yang sudah lama dan diperpanjang tapi tiba-tiba ditetapkan [jadi kawasan hutan], ini bikin susah dapat ISPO. Ini kan masalah antar regulasi tapi harus diselesaikan di level yang tinggi,” katanya.
Joko mengatakan, perlu ada sebuah juri yang memveto lebih tinggi mana antara HGU dan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.180/2017 tentang Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber Tanah Obyek Reforma Agraria sehingga pelaku usaha mendapat kepastian.
Saat ini, katanya, anggota Gapki yang sudah mendapatkan sertifikasi ISPO baru 46% dari 700 perusahaan. Namun, dia menargetkan dalam waktu cepat sisa-sisa anggota juga bakal mendapatkan sertifikasi tersebut.
Dewan Pembina Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (Paspi) Bungaran Saragih mengutarakan bahwa ISPO tidak berpihak kepada petani swadaya atau smallholders. “Konsep ISPO [kurang] berpihak padahal jumlah kebun mereka [petani swadaya] 43% [dari luas nasional]. Artinya mereka punya kekuatan ekonomi dan politik.”
Menurutnya, ISPO harus direvisi agar semua petani swadaya bisa ikut serta. Dengan begitu ISPO dapat menjadi pembelaan di tingkat internasional bahwa sistem perkebunan yang dilakukan Indonesia berpihak kepada masyarakat miskin.
Sementara itu, Kepala Sekretariat ISPO, Aziz Hidayat meluruskan bahwa petani swadaya diberikan kemudahan dalam penerbitan sertifikat ISPO. Kata Aziz, dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki 7 kriteria dan petani plasma yang memiliki 6 kriteria, petani swadaya hanya harus memenuhi 4 kriteria saja.
Pertama, aspek legalitas usaha kebun petani swadaya harus memiliki sertifikat tanah, girik, STD-B, dan dokumen kerjasama. Kedua, aspek manajemen usaha kebun plasma petani harus memiliki standar operasional dan pencatatan. Ketiga, aspek pengelolaan dan pemantauan lingkungan petani harus memiliki izin lingkungan. Keempat, aspek tanggung jawab terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. *** NM,Tos