Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Agro Kemenperin, Panggah Susanto seusai Rakor di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, baru-baru ini. Menurut Panggah, keempat sektor ini dipilih untuk dimasukkan ke dalam paket kebijakan ihwal industri prioritas.
Pada awalnya, lanjut Panggah, Kemenperin menyodorkan banyak sekali sektor industri agro untuk dimasukkan ke dalam daftar tersebut. Namun, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian membatasi hanya beberapa komoditas saja. Keempat sektor industri agro itu dipilih karena memiliki potensi yang sangat besar, mulai dari nilai ekspor, daya saing, hingga penyerapan tenaga kerja.
Maka dari itu, sesuai instruksi Kemenko Perekonomian, lebih baik pengembangan komoditas perkebunan ini berjumlah sedikit namun bisa dikembangkan secara mendalam.
“Dan keempat komoditas ini memang sudah berjalan pengembangannya, namun diperlukan penyempurnaan dalam pelaksanannya,” jelas Panggah.
Hingga kuartal III tahun lalu, industri agro mencatatkan pertumbuhan kumulatif sebesar 6,07% atau tertinggi di antara sektor-sektor industri pengolahan lainnya. Kemenperin memproyeksikan pertumbuhan kumulatif industri agro sepanjang 2017 sebesar 6,89% dan pada tahun ini sebesar 6,93%.
Industri makanan menjadi subsektor industri agro yang diproyeksikan mengalami pertumbuhan paling tinggi pada tahun ini, yaitu sebesar 8,96%, disusul oleh industri furnitur sebesar 3,03%, dan industri kayu, barang dari kayu dan gabus, dan batang anyaman dari bambu, rotan, dan sejenisnya sebesar 2,60%.
Menurut Panggah, pengembangan industri agro sangat ditentukan oleh eksistensi pengelolaan sektor hulunya, antara lain dari perkebunan, pertanian, peternakan, kelautan, dan kehutanan. “Kalau sektor-sektor hulu ini tidak berkembang secara efisien, maka akan mempengaruhi sektor hilirnya juga menjadi tidak efisien. Jadi, tidak bisa berdiri sendiri,” katanya.
Panggah menyebutkan, posisi unggul Indonesia dari sektor industri agro, di antaranya adalah produsen sawit nomor 1, produsen kakao nomor 3, serta produsen pulp dan kertas nomor 6 di dunia. “Bahkan nilai ekspor minyak sawit mentah dan turunannya mencapai US$20 miliar, terbesar dari single commodity lainnya,” ungkapnya.
Namun demikian, beberapa sektor industri agro nasional menghadapi tantangan dari isu negatif di tingkat internasional. Misalnya, resolusi sawit yang dikeluarkan oleh Parlemen Uni Eropa. “Gangguan ini bersifat politis untuk membendung kinerja ekspor sawit Indonesia yang terus tumbuh positif,” tukas dia.
Untuk itu, ujar Panggah, pihaknya akan mengadakan pengkajian mengenai dampak resolusi tersebut terhadap pertumbuhan industri hilirya di Indonesia. Kemenperin juga telah berpartisipasi secara lintas kementerian dalam menyiapkan narasi tunggal mengenai posisi Pemerintah Indonesia yang berisi fakta-fakta dari perkebunan dan industri kelapa sawit dalam negeri yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
“Kemenperin juga berpandangan bahwa rencana Parlemen Uni Eropa untuk menghentikan konsumsi biodiesel sawit pada tahun 2020, bisa membawa dampak bagi Uni Eropa sendiri karena supply biofuel yang paling murah hanya dari minyak sawit,” paparnya.
Panggah menyampaikan, tindakan mitigasi dari Indonesia atas hal tersebut, antara lain meningkatkan konsumsi biodiesel domestik melalui mandatory Biodiesel B-20 (PSO dan Non-PSO), mencari pasar ekspor biodiesel non konvensional seperti Jepang, Tiongkok, India, Malaysia, negara-negara di Timur Tengah serta Asia Tengah dan Utara.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati menambahkan, sebenarnya di luar empat komoditas tersebut, Indonesia juga memiliki komoditas unggulan lain yang perlu dikembangkan.
"Selama ini baru industri agro berbahan baku minyak sawit yang digembar-gemborkan sebagai komoditas unggulan. Padahal di luar itu, kopi, teh, rotan, juga rempah-rempah, yang memiliki banyak kelebihan dibanding negara lainnya. Potensi Indonesia luar biasa," tandasnya.
Hanya saja, terutama agar daya saing produk industri berbasis agro Indonesia meningkat, pemerintah harus memberi sentuhan atau intervensi terhadap industri tersebut. Keberpihakan itu di antaranya dengan memperkuat ketersediaan infrastruktur, mengingat saat ini mayoritas potensi pengembangan industri berbasis agro justru di luar Jawa.
Menurut Enny, pemerintah bisa dengan mudah melakukan intervensi tersebut, di antaranya dengan mengoptimalkan pemanfaatan dana desa yang tahun ini mencapai lebih dari Rp 40 triliun. Dana desa harus diarahkan untuk pembangunan infrastruktur yang disesuaikan dengan keunggulan komoditas agro masing-masing daerah.
“Apabila sekian ribu desa bergerak bersama membangun infrastruktur yang disesuaikan dengan komoditas agro unggulan masing-masing maka Indonesia akan mendapatkan peningkatan daya saing produk industri agro secara cepat. Produk industri agro yang semula hanya dibuat skala kecil bisa di-up grade sehingga bisa masuk pasar ASEAN, sekalipun hanya melalui proses packaging,” kata dia. SH
Ditjen Industri Agro Fokus Kembangkan 4 Komoditas Featured
Kementerian Perindustrian akan memprioritaskan pengembangan industri agro pada empat bidang, yaitu industri kelapa sawit, kakao, kopi, dan karet. Pertimbangannya, keempatnya memiliki potensi ekspor yang cukup besar dibandingkan komoditas lainnya.